Oleh Kapten Laut (KH) Heri Sutrisno
Kapal selam konvensional memiliki sistem penggerak disel elektrik dengan disel generator dan baterai. Selama operasi selamnya, kebutuhan energi diambil dari baterai – baterai tersebut. Untuk mengisi ulang (recharge) baterai, kapal selam harus muncul ke permukaan atau menyelam sedikit di bawah permukaan air dengan snorkel muncul di permukaan. Hal ini menjadikan kapal selam konvensional sangat mudah terdeteksi dan mudah diserang.
Pengisian baterai dengan cara tersebut secara operasional amat berisiko. Muncul di permukaan membuat sinyal-sinyal radar permukaan mudah melacak keberadaan kapal selam. Di samping itu bunyi yang dihasilkan disel generator dan gas buang yang ditimbulkannya menjadi titik tanda yang mudah dilacak oleh unsur-unsur antikapal selam seperti kapal perang dan pesawat pengintai. Pada Perang Dunia II, kapal-kapal selam Jerman yang sedang recharging banyak yang menjadi sasaran empuk pesawat-pesawat terbang dan kapal perang sekutu. Demikian juga semasa Perang Dingin, sebagian besar kapal selam Uni Soviet yang terdeteksi pengintai NATO saat snorkling.
Riset untuk mencari solusi agar kapal selam mampu mengisi baterai saat berlayar di kedalaman telah dirintis Jerman dan Rusia pada dasa warsa tahun 1930-an. Saat itu kedua negara secara terpisah mengembangkan apa yang disebut Closed-Cycle Diesels (CCD) atau Disel Daur Tertutup. Prinsipnya sama dengan kerja disel biasa, namun kebutuhan oksigen untuk pembakarannya diambil dari kapal selam itu sendiri. Jerman menggunakan sistem ini yang dinamakan Walter Engine selama tahun 1940-an. Pada periode yang sama Rusia memasang mesin ini pada kapal selam kelas ‘Quebec’ dan digunakan sampai tahun 1970.
Langkah tersebut menjadi awal penerapan sistem pendorongan kapal selam yang tidak tergantung oleh udara luar atau populer dengan sebutan Air Independent Propulsion (AIP). Selama lima puluh tahun sejak tahun 1930, riset dan penemuan sistem AIP terus dilakukan meskipun belum menghasilkan perangkat yang aman dan efisien sehingga
kurang mendapat prioritas pengembangannya. Kondisi ini diperkuat dengan penemuan kapal selam bertenaga nuklir yang kemampuan jelajah selamnya jauh lebih tinggi dari kapal selam konvensional. Namun demikian pengembangan kapal selam mutakhir ini hanya dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris dan Perancis.
Kecelakaan demi kecelakaan yang dialami kapal selam konvensional bertenaga baterai dan disel sikius tertutup milik Rusia dan Jerman, mencuatkan pesimisme pengembangan kapal selam disel masa depan. Selama kurun waktu 1970-1980 tidak ada penemuan penting bagi teknologi AIP. Rusia menghentikan program ini demi keselamatan awakdan kapal selamnya. Langkah aman yang ditempuh saat itu adalah menciptakan baterai kapal selam yang lebih awet untuk memperlama operasi selamnya.
Industri kapal selam Rusia terkemuka Rubin lebih memilih mengembangkan kapal selam disel dengan menggunakan baterai berkemampuan tinggi (high performance batteries). Hal ini terlihat pada produk andalannya yaitu kelas Kilo yang diproyeksikan untuk ekspor. Di tempat lain industri kapal selam Jerman Howaldwerke Deutsche (HDW) mengembangkan teknik serupa yang diterapkan pada kapal selam kelas
U-209. Bahkan kapal selam jenis ini menempati urutan pertama pilihan berbagai angkatan laut di dunia termasuk TNI AL. Kesuksesan ekspor Jerman tidak mengurungkan tekad negara tersebut untuk membuat kapal selam konvensional yang lebih canggih.
Hanya Jerman dan Swedia yang tetap teguh menemukan perangkal yang lebih aman. Swedia mengembangkan program Stirling Engine yang merupakan mesin pembakar dengan pemasok panas eksternal dan menggunakan helium sebagai media kerjanya. Mesin ini menghasilkan tenaga listrik untuk disalurkan ke dalam baterai kapal selam. Selanjutnya mesin ini dipasang pada sejumlah kapal selam kelas Gotland yang dikerjakan oleh perusahaan Kockums. Program yang mulai dilaksanakan pada awal tahun 1980-an ini tetap berjalan sampai sekarang.
Jerman sendiri mengembangkan sistem AIP dengan dua cara yang berbeda. Langkah pertama adalah menyempurnakan disel putaran tertutup dengan sistem pendinginan Spray Cooler, penyaluran gas buang yang lebih baik, dan sistem penyeimbang termodinamis. Mesin yang dikembangkan oleh perusahaan Thyssen Nardsce Werte (TSNW), Carlton Deep Sea System (DSS), Motorren and Turbinen Union(M’TV) dan Rotterdam Droogdoog Maatschaapy (RDM) ini pada tahun 1992/1993 dicoba pada kapal selam Jerman tipe U-1. Meskipun percobaan ini berjalan sukses, mesin ini tidak pernah dipasang di jajaran armada kapal selam AL Jerman. Pihak angkatan laut memilih menunggu hasil uji coba dari langkah kedua yaitu AIP dengan teknologi Fuel Cell.
Fuel Cell
Fuel Cell merupakan penemuan mutakhir dari teknologi AIP kapal selam. Mesin ini mampu menghasilkan energi listrik untuk baterai kapal selam yang didapat dari proses kimiawi paduan oksigen dan hidrogen. Berbeda dengan sistem AIP sebelumnya, cara kerja perangkat ini tidak menimbulkan suara dan tidak menghasilkan gas buang. Kehadiran sistem ini membuka peluang untuk memodemisasi kapal selam konvensional yang berkemampuan selam setara dengan kapal selam nuklir.
Pada tahun 1987/1988 para peneliti Jerman menguji sistem ini pada kapal selam kelas U-1 dengan hasil memuaskan. Setahun kemudian AL Jerman melakukan uji coba kinerja Fuel Cell yang telah dipasang pada salah satu kapal selamnya dan memuaskan para petinggi angkatan laut negeri Bavaria itu. Perusahaan Siemens memenangkan tender untuk memproduksi Fuel Cell ini.
Tipe Fuel Cell yang dikembangkan perusahaan ini adalah Polymer Electrolite Membrane(PEM). Alat terdiri dari membrane electrode, elektrode difusi udara, platinium catalyst, dan lembaran-lembaran karbon. Elemen-elemen tersebut bekerja untuk menjadikan percampuran hidrogen dan oksigen menjadi energi listrik tanpa menghasilkan efek panas yang tinggi (sekitar 60 derajat Celcius sedangkan efek panas dari sistem yang lain di atas 180 derajat Celcius) dan energi mekanik. Hasil pembuangan reaksi elektrokimia ini hanya berupa energi listrik dan air.
Untuk menghindari risiko, hidrogen disimpan dalam bentuk metal dan diletakkan di sepanjang lambung tekan (pressure hull) kapal selam. Persediaan oksigen untuk PEM Fuel Cell dibuat dalam bentuk cair, dimasukkan dalam tanki-tanki yang disekat secara khusus, dan ditempatkan di bagian luar lambung tekan. Tanki-tanki tersebut dilengkapi dengan alat penguap yang terintegrasi (integrated evaporator).
Modul Fuel Cell ini mampu menghasilkan listrik hingga 120 Kw dan memberikan tenaga pada kapal selam untuk melaju pada kecepatan 8 knot selama 14 hari tanpa mengambil cadangan listrik yang tersimpan dalam baterai. Modul ini mampu menghemat energi listrik dari baterai hingga 60 %. Energi listrik yang berasal dari Fuel Cell akan disimpan dalam baterai apabila tidak digunakan. Kemampuan baterai kapal selam sendiri bila digunakan secara terus-menerus dalam operasi normal bisa bertahan sekitar 4 hingga 7 hari.
Penggunaan inovasi teknologi penggerak ini memungkinkan kapal selam konvensional mampu menyelam selama tiga minggu terus-menerus tanpa muncul ke permukaan atau snorkling. Dengan kemampuan menyelam sejauh itu memungkinkan kapal selam konvensional mampu melakukan penyusupan ke wilayah sasaran lawan dan bertahan dari kejaran unsur-unsur antikapal selam dalam waktu yang relatif lama.
Keuntungan lain dari penggunaan sistem ini adalah pengurangan signature (penampakan) kapal selam dalam suara (noise) dan panas dari gas buang. Dengan demikian kapal selam disel dengan AIP Fuel Cell akan makin sulit terdeteksi dan bila kapal selam dilengkapi dengan sistem tempur dan persenjataan yang canggih maka jarak dengan kapal selam nuklir akan semakin dekat. Lebih dari itu sistem ini lebih aman dan mudah perawatannya. Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan kapal selam nuklir yang selalu khawatir dengan kebocoran reaktor dan dampak yang amat merugikan lingkungan bila terjadi ledakan dari kapal selam.
Saat ini Jerman sedang membangun kapal selam kelas U-212 dan U-214 yang dilengkapi dengan sistem AIP Fuel Cell. Keduanya dibuat di galangan kapal HDW atas pesanan AL Jerman, AL Italia, dan AL Yunani. Di samping itu Jerman juga sedang mengkaji modifikasi sistem ini pada kapal-kapal selam kelas’U-209 yang telah tersebar luas di seluruh dunia.
Sumber : www.sinarharapan.co.id